Senin, 04 Oktober 2010

Pamafest 2010

Performance Art Malang Festival

2010
Agusut 17

Under the Bridge Splidid
Jl. Majapahit, Malang

http://www.pamafest2010.blogspot.com

Performance Artist

Siklum
Dhani Dian
Pugud Haibi
Enny Asrinawati
Oktaviani Puspitasari
Buntas Pradoto
Dapeng Limo
Gembo
Sogeahmad

PamaFest 2010

Tema PAMAFest 2010

PAMAFest 2010 yang kami selenggarakan pertama ini bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Indonesia 17 Agustus. Namun permasalahannya adalah apakah benar bangsa kita telah merdeka. Banyak hal yang terjadi oleh penguasa negara sendiri dalam menindas rakyatnya, terlebih kepada rakyat kecil. Kebijakan-kebijakan bahkan keadilan di negara ini tampak terkesan berat sebelah. Tidak ada keberpihakan kepada rakyat kecil secara murni namun semata-mata karena tendensi yang lain. Bahkan terkesan rakyat sebagai alat. Begitu juga dengan dasar negara kita, Garuda Pancasia, apakah negara saat ini masih berpegang pada dasar negara? Coba kita lafalkan ke lima silanya dan melihat kondisi yang terjadi di negara kita, apakah dari sila-sila itu adakah yang sesuai dengan praktik kebijakan para penguasa yang terjadi?
SILA 1: Ketuhanan Yang Maha Esa
SILA 2: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
SILA 3: Persatuan Indonesia
SILA 4: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
SILA 5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dari kegelisahan itu lah, maka tema PAMAFest 2010 yang pertama ini adalah mengenai Negara Indonesia kita saat ini.









Photographs by :
Didik 'Jenjink', SAMIN collections, and personal collections

Performance Art ; Kekuatan dahsyat

Oleh: Yon Wahyuwono (Perupa Malang)

Penyakit sosial, ketimpangan sosial, orang-orang yang gak sosial, yang sosial tapi bagi kelompoknya, yang sosial kepada para miskin sebagai “ritual pencitraan” dan gaya-gaya hidup yang sok sosial merupakan efek ketidakpahaman akan hidup, ketidakpahaman akan makna dan penghayatan terhadap suasana keberagamaan dan kepercayaan akan keesaan Tuhan dengan segala himbauan, harapan, bahkan tegas-tegas dan jelas akan tujuan hidup yang baik, saling memahami kekurangan masing-masing menghargai sesama secara santun, ironis kan!
Enny Asrinawati, Dapeng Limo, Oktaviani Puspitasari dan kawan-kawan yang saya lihat adalah person-person yangmempunyai spirit kebudayaan dan spirit untuk berbuat yang terbaru, dan dianggap “pas” buat mereka. Masalah-masalah sosial yang menurut mereka tidak cukup diekspresikan lewat karya 2 dimensi atau 3 dimensi; bagi mereka yang palig penting bagaimana menyadarkan publik atau masyarakat bahwa inilah permasalahan yang sekarang memerlukan solusi. Memang even ini tidak serta merta dapat merubah tatanan kehidupan yang carut marut menjadi baik atau lebih baik. Di jaman sesama seniman yang masih berfikir-fikir dan melakukan kegiatan seni untuk ekonomi dan hidup. Mereka justru mempunyai cara memaknai hidup lewat kesenian dengan gaya performance tersebut. Beberapa ratus tahun yang lalu negeri ini, khususnya di Jawa ada kesenian yang memang dirancang dalam bentuk performance yang ditampilkan di lapangan terbuka dngan harapan ruang pentas menjadi luas dan bebas untuk menyampaikan pesan-pesan, apakah pesan kesejarahan, pesan kepahawanan, atau pesan tentang hidup yang harus lebih baik dan bermartabat. Ada performance kuda kepang, reog ponrogo, bantengan, dll. Di sanalah kehangatan terjalin antara pemain/seniman dengan penonton/publiknya. Saya tidak bermaksud membandingkan karyakarya mereka dengan karya nenek moyang kita atau performance art yang di garap oleh para seniman di barat maupun di timur. Ada benang merah yang tidak bisa dipungkiri karena style tersebut tetap aktual dan diperukan oleh seniman yang memilih berkarya lewat performance. Bahkan kita lihat cukup marak aksi para demonstran juga meyampaikan pesan, protes akan sesuatu hal dengan cara performance. Bagi mereka protes-protes secara apik, secara lesan, tulisan, bahkan berunding pun sudah tidak digubris, dengan maksud performance tersebut untuk membelalakkan mata, membuka mata dan hati pada yang tergugat. Meizhtruation Performance art di 17 Agustus 2010 menampilkan beberapa karya degan bingkai kemerdekaan; sekaligus memaknai kemerdekaan tidak sekedar pasang bendera. Hati dan semangat merah putih mengilhami proses kreatif enny dan kawan-kawan. Mulai dari persiapan, mendata lokasi performance, konsep-konsep dan merakit impian para performer hingga melibatkan publik, teman-teman seniman senior atau junior dari berbagai disiplin juga anak-anak dan orang tua di sekitar arena performance (jembatan splendid malang).
Selintas acara tersebut aneh, unik, lucu, bahkan banyak orang yang bertanya-tanya mau apa anak-anak muda tersebut. Banyak yang perlu dicermati dari performance mereka; gembo bak manusia lumpur mengekspresikan ide-idenya lewat tubuh dan kanvas sebagai media, dia mau tunjukkan inilah tubuhku, inilah kanvasku, kesenianku, lumpurku, mau di bawa kemana? Apakah otak kita lebih bersih dari lumpur-lumpur yang menghidupi cacing-cacing kita. Yang pasti dia tidak berfikir berapa harga lukisan pada tubuh dan kanvasnya. Dia bebaskan dirinya dari hal-hal lain yang barbau cetak uang. Dia ledakkan imajinya guna penyadaran bagi dirinya juga bagi orang lain akan makna lumpur atau tanah, masihkah orang atau bangsa ini menghormati tanah yang indah, yang subur dari sang pencipta?
Pugud tampil dengan membungkus tubuhnya dengan plastik bening mulai dari kepala hingga lututnya. Dia merefleksikan jaman yang serba plastik bahkan disadarinya bahwa produk teknologi maju itu perlu direspon, tidak hanya gunanya/manfaatnya saja, tetapi perlu diperhatikan betapa rusaknya lingkungan karena limbah plastik, atau betapa sesaknya hidup ini dengan melimpahnya sisa-sisa (limbah plastik) yang sulit hancur. Kita tidak boleh gagap merespon produk-produk tersebut.
Siklum memberi penyadaran pada publik yang hadir akan pentingnya ekosistem, keteraturan alam yang lebih baik. Ditepian sungai brantas (dibawah jembatan splendid malang) ia susun beberapa gelas aqua yang diisi ikan-ikan kecil serta angpao kecil yang diisikan pertanyaan tentang kemerdekaan pada saat yang ditentukan, maka ritual pelepasan ikan-ikan tersebut dilakukan oleh beberapa partisipan untuk melepas sungai tersebut ke sungai brantas. Semua orang tau bagaimana nasib ikan-ikan tersebut kelak hidupnya di air yang keruh penuh limbah manusia, sampah, deterjen, dan juga imbah pabrik! Apakah peristiwa tesebut dianggap angin lalu saja?
Dengan setianya performer hera dan kawan-kawan dengan musik perkusinya mengiringi even tersebut mulai awal hingga akhir. Doa telah di bacakan mbah wito pakar ludruk, puisi-puisi telah dilantunkan oleh Nur Hadi Lodji dan sekali lagi hera dan kawan-kawan mempertajam performance tersebut dengan hentakan-hentakan perkusinya.

Catatan kecil telah saya buat untuk mereka. Selamat bertempur anak muda. masa depan negeri adalah tanggung jawab kalian, jangan berhenti meledakkan pesan-pesan kehidupan bagi bangsa dan Negara ini lewat performance-performance yang lain. Quo vadis? Jangan lupa pesan sobatku, Totok Chevkotz, jebolan asdrafi; setelah ini ‘ngapain’? Wow, never ending for the winner!!

Malang, 30 Agustus 2010
Social disease, social inequality, people are not social, but for a social group, the social to the poor as a "ritual imagery" and the style of quasi-social lifestyle will live an effect incomprehension, misunderstanding of the meaning and the understanding of the atmosphere religious and belief in the oneness of God with all appeals, hope, even firmly and clearly the good life of purpose, lack of mutual understanding of each other in a polite respect, it's ironic!
Enny Asrinawati, Dapeng Limo, oktaviani Puspitasari and friends that I see is the persons who have the spirit of culture and spirit to do the latest, and is considered "fit" for them. Social problems which they say not enough is expressed through the work of 2 dimensional or 3 dimensional; for those who palig important how the public or the public realize that this is the problem that now requires a solution. Indeed, this event is not necessarily to change the order of a bawdy chaos to be good or better. In the era of fellow artists who still thinking and make art for economic activity and life. They actually have a way of meaning of life through art with the style of the performance. Several hundred years ago this country, especially in Java, there is art that is designed in the form of performance that is displayed in the open field arena space brother "hopes to be widely and free to convey the messages, whether historical message, the message of heroism, or message about life and dignity should be better. There is a performance horse braid, reog ponrogo, bantengan, etc.. That's where the warmth is established between the player / artist with the audience / public. I do not mean to compare their best work to the work of our ancestors or that the work on performance art by the artists in the west and the east.. There is a thread that can not be denied because the style is still actual and necessary by the artists who choose to work through performance. In fact we saw quite widespread actions of the demonstrators also convey the message, the protests will be something that by way of performance. Those protests were nicely, a goal, writing, and even negotiate also been ignored, with the purpose of performance is to open eyes wide, open eyes and hearts on the defendant. Meizhtruation Performance art on August 17, 2010 featuring several works degan frame independence, as well as meaning independence is not just a pair of flags. Red and white hearts and spirit to inspire the creative process Enny and friends. Starting from the preparation, record the location performance, concepts and assemble the dream of the performers to engage the public, fellow senior or junior artists from various disciplines as well as children and parents around the arena of performance (malang Splendid bridge).
Overview of the strange events, unique, funny, even many people who would wonder what these young children. Many are to be seen from their performance; gembo human tub mud express her ideas through the body and the canvas as a medium, he would point out this is my body, this is the canvas, my art, my mud, would be brought anywhere? Are our brains are cleaner than mud worms that feed us. To be sure he does not think what the price of the painting on the body and the canvas. He freed himself from other things about money. He blow his imagination to raising awareness for themselves as well as others of the meaning of mud or soil, still if the person or nation is honoring the beautiful land, lush from the creator?
Pugud appear with his body with clear plastic wrap from head to knee. He reflects the era of the all plastic even realize that advanced technology products that need to be responded to, not only useless / useful, but keep in mind how much damage to the environment because plastic waste, or how crowded this life with the abundance of the remains (plastic waste) is difficult destroyed . We should not stutter respond to these products.
Siklum give awareness to the public in attendance the importance of ecosystems, the regularity of nature better. on edge the Brantas River (below the bridge Splendid malang), he compiled some aqua glass filled with small fish and small envelope loaded question of independence at the time specified, then the ritual of releasing the fish is done by some participants to release it into the Brantas river. Everyone knows what happened to the fish of his life later in the murky water full of human waste, garbage, detergents, and also waste of factory! Whether the event is considered the wind went right?
With loyal performers hera and his friends with percussion accompany these events from early to late. Prayers have been read out mbah Wito ludruk experts, the poems have been sung by Nur Hadi Lodji and once again hera and his colleagues sharpen the performance with their percussion
Small note I have created for them. Congratulations to fight youth. the future of the country are the responsibility of you, do not stop blowing the messages of life for the nation and the country is through another performances. Quo vadis? Do not forget to message my friend, Totok Chevkotz, graduate form asdrafi; after this 'doing'? Wow, never ending for the winner!

Malang, August 30, 2010

Minggu, 03 Oktober 2010

Upacara Bendera 17 Agustus (sebuah happening art) 2010


Inspektur Upacara
Anthony Wibowo
Pemimpin Upacara
Imam Efendy
Protokol Upacara
Piyo
Pengibar Bendera
Enny Asrinawati
Dapeng Limo
Oktaviani Puspitasari
Pembaca UUD 1945
Rifky Alcaf
Pembawa teks Pancasila
Nanang
Pembaca Teks Proklamasi
Izet
Pemusik
crisna saisoe_biola, Hera Jimbe dkk, & Komunitas Slendro II
Pembaca Puisi ‘Tanah Air Mata’ Sutardji Colzoum Bachri
Nur Hadi Lodji
Pembaca Do’a
Suwito ‘Ludruk’
Peserta
Beberapa Pengurus DKM, Seniman-seniman independen, pegiat seni di DKM, komunitas-komunitas seni kampus, komunitas seni independen, siswa SMA, warga dan masyarakat sekitar.
Sebuah upacara bendera yang diselenggarakan di bawah jembatan splindid Kota Malang ini merupakan ekspresi kami dalam menggambarkan sebuah kemerdekaan yang belum banyak dari masyarakat indonesia yang bisa merasakan kemerdekaan seutuhnya. Namun paling tidak, dengan ini kami mencoba mengingatkan jasa juang dari para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari penjajahan negara lain.
Jembatan splindid Kota Malang, adalah sebuah peninggalan sejarah di masa penjajahan dulu, dan dengan menjejakkan kaki di tanah dan sungai brantas ini membuat suasana syahdu dan haru kian terasa karena perjuangan pahlawan ada di sini. Adalah jembatan itu sebagai bukti penjajahan, dan di sungai inilah para pahlawan berjuang.
Pada hari ini, 17 Agustus 2010 kami merasakan air yang sama, sungai brantas ini, yang juga menyentuh kaki kaki para pejuang di masa itu dalam merebut kemerdekaan. Kami mengheningkan cipta bersama, menatap bendera bersama dengan masyarakat sekitar, mencoba memaknai jasa juang para pahlawan pada bumi kita. Dengan konsep yang sederhana, bukan di tempat yang penuh kemewahan, bukan dengan kain-kain merah putih yang lebar terpasang di terop-terop, bukan dengan seragam rapi bersih serba putih, bukan dengan sepatu-sepatu yang mengkilap, bukan dengan pijakan yang rata dan nyaman, bukan dengan barisan rapi dan gagah, karena memang beginilah adanya, sesungguhnya kami semua warga indonesia berhak memaknai kemerdekaan itu sendiri, berhak mengenang jasa pahlawan pendahulu kita, dengan cara apa pun dan bagaimanapun. Tapi di sinilah sebuah cermin kondisi kemerdekaan yang sesungguhnya. Dan gambaran itu tampak utuh dalam puisi Sutardji Colzoum Bachri yang berjudul Tanah Air Mata. Dan semoga kita dapat merenungkan maknanya untuk segala perubahan, perbaikan, dan kebangkitan di masa yang akan datang

A flag ceremony, held under the bridge splindid Malang is our expression in describing an independence that has not been a lot of Indonesian people who can feel full independence. But at least, we try to remind the fighting services of the heroes who had won independence from colonialism in other countries.
Bridge splindid Malang, is a relic of history in the colonial period first, and by setting foot on the ground and this makes the Brantas River serene atmosphere and emotion increasingly felt since the struggle heroes here. It is the bridge as evidence of occupation, and the river is the heroes of the struggle.
On this day, August 17, 2010 we felt the same water, the Brantas River, which also touched the feet of the feet of the fighters in those days, in seizing independence. We shared silence, staring at the flag along with the surrounding community, trying to interpret the fighting services of the heroes in our world. With a simple concept, not in a place full of luxury, not with red cloth attached on the wide white tents, not with all-white uniforms clean tidy, not with the shoes are shiny, not flat and comfortable footing , rather than with neat rows and handsome, because indeed this is how it is, in fact we were all Indonesian citizens have the right sense of independence itself, the right to commemorate the heroes of our predecessors services, by whatever means and however. But this is where a mirror actual conditions of independence. And the picture that appeared intact in the poem entitled Sutardji Colzoum Bachri Land of Tears. And hopefully we can reflect on its meaning for all changes, improvements, and resurrection in the future

Foreword*


Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Kali brantas....di sini urat nadi kota mengalir, di sini kami pemuda pemudi seniman dan budayawan dengan khidmat merasakan degup kemedekaan mengalirkan darah hidup. Degup semangat cinta tanah air, negara kesatuan Republik Indonesia yang telah dibangun oleeh para Pahlawan Bangsa.
Bersama dalam doa dan harapan-harapan terindah kita pujikan semoga bangsa dan negeri pancasila ini senantiasa dibimbing dan dilindungi berkat Allah sepanjang segala mata.
Saudara-saudara satu jiwa merdeka, sampai dengan hari ini kita tahu bertapa derasnya arus konsep-konsep pemikiran dan perilaku yang katanya membawa kebaruan telah membanjiri bangsa kita. Tetapi juga sedah banyak tanda-tanda telah terjandinya pengdangkalan dan pemerosotan bahkan pengingkaran nilai-nilai di berbagai sektor k ehidupan. Segala sesuatu dipandang sebagai ralatif dan bebas tafsir.
Kita memang sadar bahwa kodrat kemajuan kebudayaan adalah keniscayaan terjadinya gerak dan perubahan, tetapi tentu kita juga harus sadar bahwa tidak setiap gerak dan perubahan itu berarti kemajuan. Maka di sini, saat ini kita wajib secara cerdas dan seksama untuk selalu memilah dan memilih segala yang ditawarkan. Sebab jika sekedar euforia dan kebebasan yang hampa pasti akan merugikan kemanusiaan dan persaudaraan pasti hanya akan menambah luka-luka budaya.
Sesungguhnya dalam setiap gerak perubahan kebudayaan selalu dibutuhkan seniman dan budayawan yang berpikir. Sesungguhnya dalam membangun kebudayaan dibutuhkan partisipasi dan kontribusi setiap orang. Sesungguhnya suatu bangsa dan negara modern yang berkepribadian dalam kebudayaan membutuhkan kejelasan politik dan strategi kebudayan nasional yang berwawasan global dari pemerintah. Sebab tanpa kejelasan politik dan strategi kebudayaan nasional, suatu bangsa akan dihinakan martabatnya, hanya menjadi epigondan plagiat dari budaya bangsa lain.
Maka kita pemuda pemudi, seniman dan budayawan Kota Malang siang ini di tepi brantas ini hendaknya bersatu menyatakan tekad jiwa merdeka berkepribadian dalam kebudayaan: Tidak akan menjadi Epigon atau Plagiat!!
Kita bangga dan setia pada pancasila, pada merah putih, pada UUD 1945, bangga menjadi bangsa indonesia dan sungguh mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekali Merdeka Tetap Merdeka!
Akhirnya dengan semangat satu jiwa merdeka semangat Agustus 1945, pada jam 12.00 ini Performance art Malang festival Tahun 2010 dinyatakan resmi dibuka!!
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Terima kasih.

Malang, 16 Agustus 2010
Antony Wibowo
(Perupa & Seniman Kota Malang_Sekjen Dewan Kesenian Malang)

*) Disampaikan sebagai amanat upacara pada Upacara Bendera 17 Agustus (sebuah happening art) di bawah Jembatan Splindid Malang yang mana sekaligus sebagai pembuka Perfomance Art Malang Festival (PAMAFest) 2010 


 
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Brantas here .... veins flowed the city, here we are artists and cultural youngsters feel the beat independence solemnly blood stream of life. Beat the spirit of love of the homeland, the unitary state of Indonesia which has been built by the Hero of the Nation.
Along with the prayers and hopes of our beautiful nation and country commendeth hopefully this Pancasila always guided and protected thanks to God throughout all of the eye.
The brothers of soul freedom, until today we know imprisoned rapid flow concepts of thought and behavior that he brings novelty have flooded our nation. But also sedah many signs of degeneration were superficiality
occurrence and even denial of the values in the various sectors  of life. Everything is viewed as relative and free interpretation.
We do realize that nature is the inevitability of cultural advancement of motion and change, but of course we also have to realize that not every motion and change means progress. So here, now we must be smart and careful to always pick and choose everything that is offered. If it just euphoria and freedom that vacuum would harm humanity and brotherhood would only reinforce the cultural wounds.
In fact in any culture change movement is always required that artists and cultural thinking. Indeed in culture needed to build participation and contribution of everyone. Truly a modern nation requires clarity of personality in political culture and national cultural strategy of the government's vision of global. Because without clarity of political and national cultural strategy, a nation will be humiliated dignity, only to be epigon and plagiarism of another nation's culture.
So our young people, artists and cultural Malang City this afternoon on the banks of the Brantas this determination should be united states free spirit personality in culture: There will be Epigon or plagiarism!
We are proud and loyal to the Pancasila, in red and white, the 1945 Constitution, is proud to be Indonesian nation and really love the Republic of Indonesia.
Once the Free Stay Free!
Finally, in the spirit of a soul independent spirit of August 1945, at 12:00 am this Malang Performance art festival in 2010 declared officially open!
May God bless us all.
Thank you.

Malang, August 16, 2010
Anton Wibowo
(Artists & Artists Malang_Sekjen City Arts Council Malang)
*) Presented as a trust ceremony on Flag Ceremony August 17 (an art happenings) under the bridge where Splindid Malang well as the opening Malang Perfomance Art Festival (PAMAFest) 2010


Sabtu, 02 Oktober 2010

introduction

Semua bermula keinginan untuk pendataan pelaku seni performa di Kota Malang khususnya untuk membangkitkan gairah dan memunculkan para performer yang selama ini terselubung dan berdiri sendiri di Kota Malang. Kami mencoba melakukan pendataan dengan berdasar dari informasi mulut ke mulut seorang kawan yang memberitahukan seorang pegiat di dunia performa ataupun yang berkeinginan menggelutinya, dan inilah 9 performer yang sementara ini terdata dengan tidak menutup kemungkinan akan muncul performer-performer lainnya di Kota Malang.
Dengan mengambil moment 17 agustus 2010, kami mendata teman-teman performer untuk bersama-sama merespon arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dengan mengambil ruang-ruang masyarakat umum dan pendekatan pada alam, kami mengekspresikan kemerdekaan 17 agustus dalam upacara bendera sebuah happening art yang juga kami maknai sebagai sebuah introspeksi bangsa. Dan festival yang bertemakan tentang negara kita saat ini sengaja kami gelar di bawah jembatan splindid Jl. Majapahit Kota Malang, di mana kondisi masyarakat begitu juga dengan kondisi alamnya merupakan ruang yang perlu kita jadikan cermin akan makna kemerdekaan yang masih banyak dipertanyakan. Dalam festival ini diharapkan ada makna yang dapat menggugah kepedulian terhadap kondisi negara yang juga mulai mengabaikan pancasila sebagai dasar negara.
Kami mengharapkan Pamafest 2010 ini akan terus bergulir dengan terus bertambahnya pegiat seni performa di Kota Malang, dan dengan bahasa mereka mampu memberikan kontribusi dalam merespon ruang-ruang dan kondisi-kondisi di masyarakat, politik, sosial budaya, gender, kepercayaan, hingga lingkungan.


Enny Asrinawati
Meizhtruation Performance

All began with the desire for data collection on perpetrators of performance art in the city of Malang in particular to excite and bring the performers who had been veiled and standing alone in the city of Malang. We try to do data collection on the basis of the information word of mouth a friend who told an activist in the world or who wish menggelutinya performance, and this is a temporary nine performers are recorded with will possibly show other performer-performer in the city of Malang.


in the moment of 17 August 2010, we respond to the meaning of independence for the Indonesian nation with all performers. By taking the public spaces and the approach to nature, we express independence 17 August in the flag ceremony is also an art happenings which we interpret as an introspection of the nation. And the festival with the theme of our country at this time we deliberately title under the bridge splindid Jl. Majapahit Malang, where the condition of society as well as its natural condition is the space we need to make a mirror of the meaning of independence is still widely questioned. In this festival there is meaning that can be expected to arouse awareness of the condition of the country also started to ignore the Pancasila as the state.


Pamafest We expect 2010 will continue to roll with the continued increase in performance art activists in the city of Malang, and the language they are able to contribute in response to the spaces and conditions in society, political, social, cultural, gender, creed, to the environment.


Enny Asrinawati
Meizhtruation Performance