Minggu, 03 Oktober 2010

Sebuah upacara bendera yang diselenggarakan di bawah jembatan splindid Kota Malang ini merupakan ekspresi kami dalam menggambarkan sebuah kemerdekaan yang belum banyak dari masyarakat indonesia yang bisa merasakan kemerdekaan seutuhnya. Namun paling tidak, dengan ini kami mencoba mengingatkan jasa juang dari para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari penjajahan negara lain.
Jembatan splindid Kota Malang, adalah sebuah peninggalan sejarah di masa penjajahan dulu, dan dengan menjejakkan kaki di tanah dan sungai brantas ini membuat suasana syahdu dan haru kian terasa karena perjuangan pahlawan ada di sini. Adalah jembatan itu sebagai bukti penjajahan, dan di sungai inilah para pahlawan berjuang.
Pada hari ini, 17 Agustus 2010 kami merasakan air yang sama, sungai brantas ini, yang juga menyentuh kaki kaki para pejuang di masa itu dalam merebut kemerdekaan. Kami mengheningkan cipta bersama, menatap bendera bersama dengan masyarakat sekitar, mencoba memaknai jasa juang para pahlawan pada bumi kita. Dengan konsep yang sederhana, bukan di tempat yang penuh kemewahan, bukan dengan kain-kain merah putih yang lebar terpasang di terop-terop, bukan dengan seragam rapi bersih serba putih, bukan dengan sepatu-sepatu yang mengkilap, bukan dengan pijakan yang rata dan nyaman, bukan dengan barisan rapi dan gagah, karena memang beginilah adanya, sesungguhnya kami semua warga indonesia berhak memaknai kemerdekaan itu sendiri, berhak mengenang jasa pahlawan pendahulu kita, dengan cara apa pun dan bagaimanapun. Tapi di sinilah sebuah cermin kondisi kemerdekaan yang sesungguhnya. Dan gambaran itu tampak utuh dalam puisi Sutardji Colzoum Bachri yang berjudul Tanah Air Mata. Dan semoga kita dapat merenungkan maknanya untuk segala perubahan, perbaikan, dan kebangkitan di masa yang akan datang

A flag ceremony, held under the bridge splindid Malang is our expression in describing an independence that has not been a lot of Indonesian people who can feel full independence. But at least, we try to remind the fighting services of the heroes who had won independence from colonialism in other countries.
Bridge splindid Malang, is a relic of history in the colonial period first, and by setting foot on the ground and this makes the Brantas River serene atmosphere and emotion increasingly felt since the struggle heroes here. It is the bridge as evidence of occupation, and the river is the heroes of the struggle.
On this day, August 17, 2010 we felt the same water, the Brantas River, which also touched the feet of the feet of the fighters in those days, in seizing independence. We shared silence, staring at the flag along with the surrounding community, trying to interpret the fighting services of the heroes in our world. With a simple concept, not in a place full of luxury, not with red cloth attached on the wide white tents, not with all-white uniforms clean tidy, not with the shoes are shiny, not flat and comfortable footing , rather than with neat rows and handsome, because indeed this is how it is, in fact we were all Indonesian citizens have the right sense of independence itself, the right to commemorate the heroes of our predecessors services, by whatever means and however. But this is where a mirror actual conditions of independence. And the picture that appeared intact in the poem entitled Sutardji Colzoum Bachri Land of Tears. And hopefully we can reflect on its meaning for all changes, improvements, and resurrection in the future